Islamic Widget

CINTA BELUM SAATNYA

Jumat, 22 Juli 2011

Benar – benar terasa aroma kampung halaman yang ku rindukan ketika kakiku mulai melangkah memasuki gang kecil menuju rumahku tercinta.
“Hei Nin, pulang juga kamu akhirnya, ayo main ke rumahku, gak kangen aku ta??” sapa Rasti yang berpapasan denganku sambil tersenyum
“Eh ia Ras, kangen juga akhirnya sama rumah, sama kamu juga, besok mungkin aku main kerumahmu” aku pun tersenyum
“Heemm.. oke lah, ku 
tunggu lo, eh duluan ya, mau beli beras ni belum masak ”, kata Rasti sambil berlalu dan aku pun melanjutkan langkah kakiku sambil mengenang saat-saat aku menikmati kehidupanku di kampung ini, penuh dengan permainan dan persahabatan.
**************
“Minum Nin, gak usah sungkan gitu” Aku langsung meminum dan memakan sajian Rasti, menikmatinya sambil mengedarkan pandangan melihat-lihat ruang tamu dan latar lainnya, heeem masih nampak sama seperti saat terakhir kali aku melihatnya
“Waah gaya ya sekarang yang sudah jadi bu bidan, jadi jarang pulang” Rasti membuka pembicaraan
“Ah.. kamu bisa saja, belum kok masih nunggu ujian buat ijin buka praktek”
“Tapi kan sama saja”
“Heem ngomong-ngmong, suamimu sekarang kerja apa?” Tanyaku kembali sambil menikmati camilan,
“Aku udah cerai Nin” Jawaban Rasti sontak membuatku hampir keselek
“Serius??, gak lucu kali”
“Gak usah lebbai gitu kenapa, emangnya salah kalau aku cerai??”, ia juga ya, kenapa harus keselek hanya karena cerai, bukankah itu wajar jika mereka sudah tak cocok lagi, aku pun langsung percaya begitu menyadari bahwa tak ada lagi foto pernikahan mereka yang biasa dipajang di dinding sebelah kamar utama.
“Sudah lah tak perlu dibahas, hanya akan menyakitkan hatiku, apalagi mengetahui dia yang sudah menikah lagi”
“Ha? Secepat itu kah??” Mataku terbelalak, benar-benar kaget dengan pembicaraannya
“Namanya juga laki-laki” jawabnya singkat lalu tersenyum dan diam sejenak, mungkin mengingat kegagalan pernikahannya, ya aku juga mulai membayangkan pernikahannya yang hanya bertahan empat tahun, nikah muda, dan sekarang sudah punya anak di usia semuda ini bahkan harus merawatnya tanpa suami.
“O ia kuliahmu sudah selesai kan? Trus sekarang ngapain aja? Enak ya bisa kuliah, temanmu pasti banyak” Rasti membuyarkan lamunanku, mencoba mengalihkan pembicaraan
“Pacarmu ada berapa? Anak mana? “ Tanyanya bersemangat sebelum aku menjawab pertanyaan pertama, heran kenapa pembicaraan ini jadi jauh dan gak nyambung
“Ah…aku gak punya pacar Ras” jawabku singkat
“Ah masak anak kuliah gak punya pacar?? Mana percaya aku?”
“Emang punya pacar wajib ya?”
“Ya ngga’ sih, tapi kan gak gaul, aku aja udah punya empat pacar” jawabnya bangga
“He?? Serius kamu?” kaget mendengar jawabannya sekaligus heran dengan pemikirannya, sepertinya sudah terpengaruh sinetron dan lingkungan yang kurang baik
“Oh ia kabar Wahyu gimana?? Kangen aku sudah lama gak ketemu” aku mencoba mengalihkan pembicaraan yang bagiku kurang berkualitas, kurang berkualitas atau karena aku yang masih belum punya pacar ya? Ah entahlah, aku tidak begitu tertarik membicarakan tentang hubungan berpacaran.
“Wahyu sakit” jawabnya singkat
“Sakit apa?”
“Kamu gak ingin menjenguknya?? Katanya kangen, ayok kesana, sekalian ku ada perlu sama Wahyu” Rasti tak menjawab pertanyaanku, tapi aku tak peduli karena tertarik dengan ajakannya ke rumah Wahyu
“Ayook”
“Sekarang saja yuk, aku soalnya mau keluar sebentar lagi”
“Yawez ayok” aku menyetujuinya karena selain kangen Wahyu, rumahnya juga hanya berselisih tiga rumah dengan rumah ini, jadi tidak susah untuk mendatangi Wahyu, ya sekalian menyambung silaturrahmi. Rasti kemudian beranjak membersihkan meja.
“Ibuuuuuk minta uyang, beyi colok” tiba-tiba Arif, anaknya yang berumur kira-kira tiga tahun menghampirinya dan menggelantung di perut Rasti, aku tersenyum melihatnya
“Haduuh ibuk gak punya uang, dak usah beli-beli, sana makan dulu sama mbah ti”
“Dak mauuuu, uyaaaaang minta uyang” Arif kian merengek
“Kamu belum makan, eh Nin, duduk dulu ya, ini aku masih ngurus Arif”
“Iya gakpapa, kenapa gak dikasih uang saja sih Arif, namanya anak-anak kan pasti pengen sama dengan teman lainnya, mungkin diluar sana temannya juga sedang memakan cilok yang dimaksud Arif” jawabku
“Minta sama mbah kung sana” Rasti tak mau ambil pusing merayu Arif biar tidak merengek lagi
“Mbah kung dak aja, ibuuuk minta uyaaang” Rengekan Arif makin menjadi
“Ibuk dak punya uang kok, cup dak  usah nangis, makan nasi saja sana sama mbah ti”
“Sini Arif, mba’ Nindi punya sesuatu” ujarku tak tega dengan rengekan Arif, Arif lalu melepas pelukannya pada Rasti dan melihatku yang memanggilnya, nampak heran, mungkin sedang berpikir kenapa mengenal namanya padahal dia belum mengenalku.
“Gak usah Nin, nanti dia tambah manja” ucap Rasti menahan Arif yang hendak menghampiriku
“Tak pa lah, sekali ini saja, anggap saja gantinya oleh-olehku dari Surabaya”, jawabku yang membuat Rasti akhirnya membiarkan Arif mendekatiku
“Ini sayang, beli-beli semau Arif, jangan nangis lagi yah, cium pipi mba’ dulu dong?” ucapku pelan dan merayu sambil memberikan selembar uang bergambar pahlawan Tuanku Imam Bonjol, jiwa kebidananku keluar, aku sangat senang berinteraksi dengan anak kecil, Arif pun tidak menolak permintaanku untuk mencium pipiku, entah karena nyaman dengan perkataanku atau malah karena uang. Setelah itu tak peduli denganku lagi, dengan semangat dan mengangkat tangannya, Arif langsung berlari keluar
“Makasih ya Nin, maaf merepotkan” ujar Rasti
“Ah.,..tak apa, cepat beres-beresnya, kita kan mau jenguk Wahyu”
“Oh ia, tunggu sebentar ya”
**********
“Assaalamu’alaikum,,” Tok tok tok. Rasti mengetuk pintu rumah Wahyu
“Yu, kamu ada di dalam? Ini aku Rasti, ada Nindi juga”
“Ia Ras, masuk saja, gak dikunci kok” terdengar suara Wahyu pelan dari dalam, akhirnya kami langsung masuk
“Eh kamu juga Nin, ayo duduk” Wahyu yang terbaring di atas kasur di ruang utama itu mempersilahkan kami duduk, sekilas nampak miris.
“Ia Yu, makasih, kamu sakit ya? Sakit apa?” tanyaku membuka pembicaraan
“Kata dokter sih kanker rahim” jawabnya datar membuka pembicaraan
Astaghfirullaah, kok bisa??” Kaget dengan jawabannya, lalu Wahyu menceritakan sekilas tentang diagnosa dokter terhadap penyakit-penyakitnya, ceritanya membuatku simpati, terenyuh dengan nasibnya, tapi melihat Wahyu yang nampak tegar dengan keadaanya membuatku sedikit menepis perasaan simpatiku
“Gimana kabarmu? Sukses ya sekarang” Tanya Wahyu tiba-tiba saat kami terdiam
“Ah..kamu bisa saja, belum dapat kerjaan kok ya wez dibilang sukses” jawabku tersenyum, heran juga kenapa mereka mengira aku sudah sukses, mungkin penilaiannya dengan membandingkan perbedaan status,  mereka saat ini yang sudah menjalani kehidupan keluarga sendiri, sedangkan aku yang masih belum bisa berbuat banyak dan tergantung pada orang tua.
Kami hanya berbincang berdua karena Rasti asik dengan hp nya, senyum-senyum sendiri, kata temanku tanda-tanda itu berarti sedang smsan dengan pasangannya. Aku membiarkannya saja karena asik mengobrol basa-basi dengan Wahyu sambil mengedarkan pandangan pada kondisi rumah Wahyu, sesekali larut dalam cerita Wahyu yang membuatku kembali merasa miris, mengingat sakitnya, suaminya yang kerja semrawutan, rumah yang kecil dengan ruangan-ruangan yang multi-fungsi, sungguh suatu keadaan yang tak pernah diharapkan siapapun.
Aku teringat dulu kami bertiga bercita-cita bisa satu sekolah sampai SMA, tapi nyatanya mereka berdua hanya bertahan sampai lulus jenjang SD, tak ada niatan untuk melanjutkan ke tingkat SMP, mungkin karena biaya, tapi jika memang begitu, kenapa mereka menolak tawaran pak RT yang dulu sempat ingin membantu mereka membayar biaya dan kebutuhan sekolah lainnya. Mungkinkah ini takdir? Entahlah, jadi teringat ayat Al-Quran yang menyatakan bahwa Allah tak akan merubah nasib suatu kaum hingga kaum itu sendiri yang merubahnya.
“Halo?? Ia,, apa?? Sudah di depan gang? Ia aku kesana sekarang” suara Rasti membuat kami berdua memandanginya terdiam
“Eh aku pergi dulu ya, biasaaaa, kencan…” Rasti mengatakannya dengan semangat dan gembira, tebakanku tadi ternyata benar, lalu dia pergi sebelum kami berkata-kata
“Payah, rusak Rasti sekarang, acaranya pacaran terus, Arif sering ditinggal pergi” ucap Wahyu nampak kekecewaan terhadap perlakuan Rasti
“Selalu begitu??” tanyaku
“Hampir setiap hari Nin, sampek omongan tetangga yang gak enak karena sikapnya itu gak dia pedulikan” jawabnya
“Sudahlah tak usah dibahas, biar itu jadi urusannya sendiri” ujarku, dengan keadaan seperti ini, nampak bahwa sebenarnya mereka tak ada yang siap menjalani kehidupan rumah tangga, ya jelas saja, umur mereka masih 21 tahun, tapi harus mengurus suami dan anak, tentunya tidak hanya bagi mereka, namun ketidaksiapan itu juga berlaku bagi para remaja yang memilih untuk menikah di usia muda. Kata dosenku, memang benar kondisi biologis kita ini sudah siap untuk menjalani kehidupan keluarga, namun mental dan psikologi kita yang membutuhkan persiapan lebih matang untuk menjalaninya. Aku setuju dengan dosenku.
“O ia, mana Gita?, pasti sekarang sudah bisa berjalan ya?” aku menanyakan keadaan anaknya untuk mengalihkan pembicaraan
“Ia , kalau sekarang ya dia juga sudah pintar berlari, eem gak tau ya ada dimana sekarang, mungkin sedang main sama mbah ti nya” jawabnya, membuatku membayangi Gita yang kira-kira berumur dua tahun, pasti lucu dan menggemaskan.
“Ngomong-ngomong siapa yang merawat Gita kalau kamu sakit begini??”
“Ya ibuku lah” sejenak Wahyu terdiam “Sebenarnya aku senang punya anak Nin, tapi ternyata tak semudah yang ku bayangkan dulu, apalagi dengan keadaanku yang seperti ini” ujarnya sedih, mungkin merenungi nasibnya, akhirnya ku temukan juga kesedihan itu, kesedihan yang bersembunyi dibalik kekuatannya yang mencoba tuk tetap tegar
“Ya yang sabar aja Yu, Allah tidak akan menguji hamba_Nya melebihi kemampuannya” ucapku mencoba membuatnya tabah, aku bisa merasakan kesedihannya sedikit, ya sedikit, karena salah jika ku katakan aku bisa merasakan perasaanya, padahal aku sendiri belum pernah mengalaminya.
Lalu pembicaraan kami berlanjut, seakan kembali ke masa lalu saat kami bertiga begitu dekat dan sulit dipisahkan, pembicaraan yang tak pernah habis dan seringkali cocok dalam hal apapun. Saat menikmati pembicaraan itu, tiba-tiba kami mendengar suara gaduh dari luar rumah Wahyu, spontan kami melihat ke arah jendela, tampak beberapa warga berkerumun. Karena terdengar semakin ramai, aku pun ijin sebentar pada Wahyu untuk melihat keadaan diluar, lalu aku menuju keluar dengan agak tergesa-gesa.
Akhirnya setelah berhasil menerobos kerumunan warga sekitar, aku bisa melihat langsung apa yang membuat mereka gaduh, Arif sedang terkulai lemas dengan kepala bercucuran darah. Arif digendong seorang lelaki yang sudah agak tua yang terus-menerus menepuk pipinya mencoba membangunkan Arif sambil sesekali mengelap darah di kepalanya yang tak henti-hentinya keluar. Sebagian orang juga mencoba memanggil-manggil nama Arif
“Pak, permisi, di ikat saja kepalanya” ujarku agak panik ingin membantu
“Dak usah sok tau, kamu masih kecil” ucapnya
“Saya ini bidan pak, saya mengerti kalau cuma masalah seperti itu” ucapku gregetan tak terima dengan pernyataan bapak tadi. Sontak jawabanku membuatnya dan sebagian orang lainnya kaget lalu memperhatikanku, syukurlah ada yang mengenaliku yang akhirnya mengiyakan pernyataanku tadi
“Trus ini gimana?” tanyanya tak sabar
“Ada kain panjang? Atau apa lah yang bisa mengikat kepalanya?” tanyaku pada orang-orang sekitarku
“Ini pakek saja” seorang ibu-ibu menyerahkan kerudung segi empat yang khas digunakan ibu-ibu didaerahku, untungnya bahan kainnya halus, tanpa pikir panjang, aku langsung membalut kepala Arif dengan kerudung tadi, mencoba menghentikan aliran darah yang terus keluar itu. Satu langkah P3K awal sudah terlaksana
“Cepat dibawa ke puskesmas saja ini pak, biar langsung ditangani dokternya” ujarku
“Loh katanya mba’ ini seorang bidan masak tidak bisa melakukan yang lain?” bapak tadi masih tidak puas dengan bantuanku
“Saya punya apa sekarang pak? Kalau di puskesmas peralatannya sudah lengkap”
“Ya tidak bisa, berarti anda bohong” dia ngotot
“Sudah pak, segera bawa Arif, sebelum terjadi apa-apa” aku mencoba tenang, kalau diladeni bapak itu, pasti gak selesai-selesai, dan untungnya lagi sebagian warga mengiyakan pendapatku. Lalu kebetulan seorang tetangga baru saja datang membawa sepeda motor entah dari mana, langsung saja para warga meminta prtolongannya untuk mengantar Arif, spontan dia langsung berbalik arah dan membonceng bapak yang membawa Arif tadi. Lalu mereka berangkat, keluar gang dan menghilang dari pandangan kami. Para warga masih ramai, sebagian bertanya-tanya awal kejadiannya, sebagian menanyakan keberadaan Rasti. Oh ia, jadi teringat Rasti,i ngin aku menghubunginya, tapi tak punya nomer hp nya jadi biarkan saudara Rasti saja yang menghubunginya. Aku pun kembali menuju rumah Wahyu, lalu sekilas bercerita tentang kejadian jatuhnya Arif di selokan depan rumahnya, setelah itu aku berpamitan pulang.
Menuju rumah aku merenungi apa yang ku alami sejak bertemu Rasti tadi pagi, Oh Arif yang malang, atau siapakah yang sebenarnya bernasib malang disini? Apakah Rasti dan Wahyu termasuk? Tapi aku tak suka dengan Rasti mengingat statusnya yang sudah janda tapi masih semangat saja dalam hal berpacaran.
Sambil menelusuri gang kecil itu, aku jadi terbayang seandainya aku di posisi Rasti atau Wahyu, aku yakinkan diriku bahwa aku tak kan sanggup menjalaninya, tapi bagaimana jika aku menikah dengan seorang pemuda tampan, pintar, pekerjaan terjamin nan dari keluarga yang tepandang? Apakah menikah muda itu masih menjadi suatu hal yang buruk? Ah aku terlalu berhayal, memangnya ada laki-laki dengan kriteria tadi mau melamarku? Tersenyum
Heeem belum saatnya, aku harus belajar dulu dengan rajin, mendapatkan kerjaan, juga belajar mempersiapkan diri untuk menjalani kehidupan masa depan.
“Assalamu’alaikum…” ucapku memasuki rumah dengan heran menatapi ada sandal bagus tiga pasang, pasti ada tamu, pikirku
“Wa’alaikumsalaam…” serentak orang-orang diruang tamu menjawab salamku
“Nah ini dia nak Nindi, sini nduk ikut duduk bareng-bareng” ibuku langsung menyambutku, merangkul dan membimbingku duduk disebelahnya, lalu memperkenalkanku pada seorang pemuda yang kelihatan malu-malu kemudian pada sepasang ibu-ibu dan bapak-bapak di sebelah pemuda tadi yang mungkin saja orang tuanya
Ha? Aku bingung, siapa mereka? nampaknya begitu akrab dengan orang tuaku, firasatku menjadi kurang nyaman, dengan satu perkiraan yang menggondol pikiranku.

0 koment:

Posting Komentar